Praises for Non-Spesifik (Gramedia Pustaka Utama, 2017)
Saya tergoda dan “terluka” oleh judul buku puisi ini. Judul yang non-puitik ini sepadan dengan perangai sajak-sajak Anya yang merongrong ketenangan dan ketenteraman jiwa.
Kumpulan puisi ini telah memperkaya dunia puisi kita dengan sajak-sajak yang menebarkan suasana depresif; sajak-sajak yang melukiskan pergulatan seseorang untuk menelisik dan mendiagnosis kondisi kejiwaannya sendiri.
Joko Pinurbo, penyair
Kegilaan, kewarasan, rasa sakit, luka, kebahagiaan, sesungguhnya rasa apakah itu? Yang harus dicecap manusia perempuan? Bisakah perempuan memilih rasa yang dia inginkan? Membaca puisi-puisi ini, saya merasa diseret, disileti dengan beragam persoalan personal penulisnya. Memahami segala rasa yang harus dicecap ibu, perempuan, kekasih dan istri yang dialami pengarang ini membuat kita memahami bagaimana hidup sangat kompleks. Layak untuk dibaca, di tengah hiruk-pikuk jagat sastra Indonesia mencari “identitasnya”. Buku ini menjawab beragam persoalan tentang esensi menjadi perempuan yang diselimuti bipolar, untuk tetap ada di jagat ini. Memilukan tapi tidak cengeng. Membacanya kita seperti mengais wajah kita sendiri.
Oka Rusmini, penyair
Dalam puisi-puisi Anya, demikian penyair ini sering saya panggil, kita melihat aku tak hanya menjelma ruang-ruang yang personal, tapi juga menjelma dia yang berkunjung ke sana untuk mengobrak-abrik ruang pribadi. Anarkismenya bahkan muncul di permukaan, dari komposisi hingga tandabaca.
Eka Kurniawan, penulis
Saya suka puisi-puisi ini. Mereka penuh kesedihan dan ada yang menggelisahkan di antara episode di dalam kumpulan ini. Tetapi, keberanian yang mereka tawarkan menghuni pikiran saya untuk waktu yang lama.
Maesy Ang, POST Bookshop
Selesai membaca Kota Ini Kembang Api, saya bertanya: Ada apa sih dengan Anya? Di buku keduanya, ia yang bertanya: Anya yang mana, Cyn?
Belah-belah identitas dan peran seorang perempuan masa kini (yang tetap saja dihadapkan berbagai dilema klasik walaupun katanya ‘modern’) dan bagaimana ia selalu dalam proses menyatukannya kembali adalah hati puisi-puisi Anya.
Fragmen-fragmen diri yang tercecer indah di Kota Ini Kembang Api menolak manis dan meledak di Non-Spesifik.
Cyntha Hariadi, penulis
Non-Spesifik adalah riwayat sebuah depresi. Di sini pikiran manusia tampil sebagai “aspal yang mulai bolong-bolong” atau “jembatan penyeberangan yang mulai bolong-bolong” atau “trotoar yang basah”; buah-buah pikirnya adalah abu atau koin receh yang berserakan di jalan, tak berarti bagi siapa pun selain si penyair dan pembaca. Salah satu buku puisi terbaik yang pernah saya baca.
Norman Erikson Pasaribu, cerpenis dan penyair
Praises for Kota Ini Kembang Api (Gramedia Pustaka Utama, 2016)
Sajak-sajak terindahnya seakan mengingatkan saya kembali bahwa salah satu nikmat yang dihadiahkan oleh puisi adalah sajian citraan yang sensual dan inderawi. Di sana-sini saya terhibur oleh bahasanya yang riang, yang bergerak antara yang dingin suram dan yang menghangatkan.
Joko Pinurbo, penyair
Anya, membuat saya melakukan perjalanan waktu, kembali ke masa lampau saat peri, putri cantik, bintang, purnama, hingga hujan yang dinyanyikan dongeng sebelum tidur terbawa dan menghiasi mimpi malam saya.
Aurelia Tiara, penyair dan pengusaha
Ada spirit dongeng dalam puisi-puisi Anya, yang disematkan pada situasi metropolis (tempatnya bergiat sehari-hari) … Saya membayangkan Anya sebagai Kumala, peri dari Negeri Dongeng yang berbekal tongkat berujung pijar pengubah segala. Lantas ia menyulap perasaan-perasaannya, keinginan dan harapannya, berita yang mampir ke telinga dan pikirannya; dalam derai kata-kata nyaris ajaib: metafora segar yang menggoda untuk selalu dibaca ulang.
Kurnia Effendi, cerpenis dan penyair