Magnet

Jakarta dalam kepalaku adalah papan magnet raksasa. Apa-apa yang ditambahkan atau dihilangkan ditandai dengan lekat atau lepasnya keping-keping magnet pada atau dari papan itu. Dan setiap perubahan yang terjadi terekam tanpa jeda selama bertahun-tahun.

Tapi sore tadi, duduk di jok belakang sebuah taksi, aku sadar bahwa ada yang bermain-main dengan papan magnetku. Aku tahu pasti karena rute yang kulewati adalah rute yang sangat rutin: Cempaka Putih – Kemang, dari rumahku ke sebuah kedai kopi di mana aku dan teman-teman berkumpul setiap minggu untuk membahas semua yang mungkin dibahas. Jadi, aku tak mungkin salah.

Pertama, keping magnet berbentuk gedung bertingkat telah menempel pada sebuah petak di Jalan Pramuka, dekat aku biasa menunggu bis. Warnanya kebiruan. Agak berkilat di bawah matahari sore. Dan kilatannya seperti mengolokku, membuatku ragu akan ingatanku. “Kamu kok yang meletakkanku di sini,” aku seperti mendengarnya bicara. Aku hanya bisa merasa lega ketika ia hilang dari pandanganku.

Yang kedua adalah munculnya keping magnet luar biasa lebar di daerah Kuningan. Sebuah pusat perbelanjaan yang juga diramaikan sejumlah restoran. Walau langit masih cukup terang, lampu-lampunya sudah nyala. Dan aku sungguh tersinggung karena mereka seakan-akan berbisik, “Lho, kok kamu bingung, sayang? Kan kamu sendiri yang melekatkanku di sini.” Segera saja kupalingkan wajahku dari sosoknya yang terasa begitu mengintimidasi.

Kemudian, ketika taksi yang kutumpangi melewati Jalan Bangka dan mendekati tujuanku, aku benar-benar terperanjat. Bagaimana tidak? Ketika aku memberitahu pak supir untuk berhenti di halaman parkir kedai kopi tujuanku, aku mendapati kedai mungil tempat aku dan teman-teman biasa bertukar pikiran mengenai apa saja, segalanya, bahkan apa-apa yang bukan apa-apa itu luar biasa lengang. Ia telah kehilangan sinar hangatnya, bangku-bangkunya serta papan namanya yang biasa dijadikan tempat hinggap seekor cicak. Ya, semua itu tak di sana lagi. Si kedai kopi sudah tutup. Dan jelas benar bukan cuma untuk hari itu.

Mataku seakan beku memandangi ruang kosong tak berlampu di balik pintu dan jendela kaca yang kini buram. Tak ada toples-toples berisi macam-macam jenis kopi. Tak ada mesin pengolah kopi. Tak ada lemari kaca penuh croissant dan roti bertabur coklat.

Cuma ada bekas-kedai-kopi.

Magnet berbentuk kedai kopi kesayangan telah lepas dari papanku. Tanpa kuketahui kapan, bagaimana atau siapa yang melakukannya.

Cuma ada bekas-kedai-kopi.

Apakah teman-teman yang siang tadi begitu sibuk mengirim pesan pendek ke telepon genggamku sebenarnya adalah bekas-teman-teman-yang-siang-tadi-begitu-sibuk-mengirim-pesan-pendek-ke-telepon-genggamku?

Mataku yang tadi beku mulai mencair. Cairannya menggenang ragu. Ragu akan kecairan dirinya. Seperti aku yang mulai ragu akan diriku sendiri karena papanku ternyata bukan Jakarta lagi dan Jakarta bukan papanku lagi sehingga segala ingatan yang kupunya tentang papanku maupun kotaku itu terjungkir dan terbalik. Oh, tidak.

Kemudian telepon genggamku bergetar.

Maaf lupa kasitau – kedai kopi pindah tempat. Jalan terus sedikit lagi, ambil belokan pertama ke kiri, jalan terus sampai kamu lihat papan tempat cicak biasa hinggap itu.

Oh, aku benci perasaan seperti ini! Ketika kau sudah siap untuk remuk karena begitu yakin sesuatu yang buruk telah terjadi tiba-tiba saja kau disadarkan bahwa semua itu hanya miskomunikasi. Bukannya tidak bersyukur ternyata semua tidak seburuk yang kukira tetapi aku jadi merasa dipermainkan.

Rasa-kehilangan-yang-lalu-hilang. Rasa-kehilangan-yang-lalu-hilang-yang-tak-benar-benar-hilang. Aku kan jadi makin yakin kalau memang ada yang bermain-main dengan papan magnetku tanpa sepengetahuanku. Aku tidak suka itu.

Atas instruksi dariku taksi yang kutumpangi lalu meluncur ke lokasi baru kedai kopi. Mudah-mudahan yang baru ini akan lebih abadi dan tidak lekas menjadi bekas-lokasi-baru. Ah, semakin sering saja aku menemukan yang bekas di kota ini. Mungkin tak lama lagi akan ada bekas-Jakarta.

draft pertama, akhir 2005 – awal 2006

One thought on “Magnet

Leave a reply to sulaiman djaya Cancel reply