Saya sebenarnya sempat ragu untuk menerima tawaran sebagai moderator diskusi ini, tetapi saya akhirnya mengiyakan karena saya pikir, selain saya memang merasa sebagai pelaku sastra yang menggunakan internet, diskusi ini berpotensi besar untuk menjadi sangat menarik. Paling tidak dari judulnya saja kita bisa menghasilkan pembicaraan yang seru. Kalau boleh sedikit curhat, saya sendiri kurang nyaman dengan istilah “sastra dunia maya” karena seringkali dikonotasikan dengan yang “terbuang” dari yang so-called “nyata” dan seolah-olah ia adalah dunia asing yang tabu sehingga untuk berkeliaran di dalamnya kita harus terlebih dahulu melanggar batas yang memisahkannya dari kefamiliaran dan kesucian dunia nyata. Ini juga ‘diperparah’ dengan penggunaan kata “menilik” yang memberikan jarak antara “si nyata” dan “si maya”. Bagi saya ini lucu karena saya justru mulai bersastra di dunia maya, kira-kira 8 tahun yang lalu, sebelum bisa bergaul dengan pelaku-pelaku sastra lain dan akhirnya diminta menjadi moderator pada malam itu. Jadi, kalau menurut saya, apa yang disebut “nyata” sama mayanya dengan apa yang saya lakukan malam ini & apa yang disebut “maya” sama nyatanya dengan apa yang biasa saya lakukan sehari-hari.
Paragraf di atas adalah sebagian dari catatan yang saya siapkan sebagai pemancing diskusi sebelum datang ke Jl. Utan Kayu No. 68H sekitar dua jam lebih awal dari waktu yang telah ditentukan sambil membawa dua botol bir (larutan penyegar cap heineken, kata Jorgy) untuk diminum bersama Mikael. Beberapa hari sebelumnya, ketika Mikael dan saya sibuk mempersiapkan materi diskusi, kami berharap dengan minum sedikit alkohol kami akan lebih sociable, atau tepatnya, lebih santai. Ya, jujur aja, kami sebenarnya gugup setengah mati. Hahaha…
Ini ada beberapa foto yang diculik dari Ney:
Klik ini untuk lihat album lengkapnya.
Klik ini untuk baca tanggapan saya terhadap “kehebohan” yang muncul sehari setelah diskusi diadakan.