Sebuah pesan panjang di sebuah percakapan WhatsApp seorang kekasih kepada kekasihnya:

pada akhirnya setiap orang pantas mati.

ada yang tergolek di kursi di teras belakang ketika sedang membaca buku puisi. tepat saat sebiji belimbing lepas dari dahannya lalu menumbuk tanah.

ada yang kepalanya terantuk dinding triplek rumahnya ketika sedang menonton video youtube di hape kurang pintar. bajaj biru melintas di depan wajahnya yang kosong.

ada yang sedang bercinta dengan suami yang dinikahinya lima tahun lalu ketika ia mengerang untuk terakhir kali.

kematian biasanya menceritakan tentang kehidupan lebih baik daripada rumus relativitas.

kita dan para pemimpin kita akan mati.

maafkan aku tidak bisa lagi menyayangimu,
menjaga kita dari kerumitan,
hanya karena selembar kertas.

kupikir senyummu akan lebih manis
mengembang seperti bunga-bunga di halaman
rumah-rumah berlantai marmer,

yang tak bisa kita miliki
sampai entah kapan,

kalau huruf-huruf itu mau berbicara tentang kita.

seperti yang seringkali dilakukan para penampil terbaik,
mereka berupaya melakukan sesuatu yang sesungguhnya
lebih besar daripada mereka,
menggunakan metode, riset, laporan, kitab suci,

di atas meja,
di dalam ruangan,
di balik pintu dan jendela
semua dari kayu jati pilihan—

pemimpin yang kita pilih,
juga dengan kertas,
lewat kertas-kertas
di tembok-tembok gang
mereka tersenyum,
lagi-lagi seperti yang seringkali dilakukan para penampil terbaik,

tapi tidak kepadaku, tidak kepada kita,
sehingga tidak seperti senyummu, dan semoga tidak seperti senyumku kepadamu,
senyum itu tak mungkin menenangkanku
ketika aku harus menyerahkan nyawaku.

kematianku nanti hanyalah reaksi terhadap kata-kata bijak para nabi,

kau pun pernah mengatakan betapa banyak orang yang sudah siap
untuk mengalami hal yang sama,

kematian memang akan datang dalam berbagai bentuk wajah
tetapi aku tidak memiliki kemewahan untuk meninggalkan kenangan.

kehidupan sehari-hari kita sudah terlalu sempit untuk dikembangkan,
kita telah gagal memperlihatkan kepribadian dan karakter yang kuat
kepada anak-anak kita,

mereka juga tak memiliki kertas-kertas
yang mencatat kehidupan mereka

yang ada tanda tanya yang ada tanda tanya yang ada tanda tanya bukan tanda tangan!

anak-anak lain punya nama lengkap yang terpercaya sehingga mereka bisa berangkat dan pulang dari sekolah dengan kepala terangkat dan senyum gembira,

ah, lagi-lagi senyum
senyum murni tentu dambaan semua manusia
senyum murni tentu tak akan menjadi kejatuhan manusia lain

aku tidak bisa menahan airmataku untuk tidak jatuh dan kubawa ke mana-mana
aku ingin bisa sembuh dari keputusasaan ini
tapi maafkan aku,
ada banyak sekali orang yang tidak bisa lagi menyayangimu di dunia ini.

dan tampaknya kematianku, kematianmu dan kematian anak-anak kita
hanya akan mewariskan kerepotan.

dikembangkan dari hasil kegiatan menulis dengan predictive text di aplikasi WhatsApp bersama anak saya, Jaemanis Rosemary Johani. WhatsApp saya pilih sebagai alat menulis puisi ini karena lewat berbagai grup di platform komunikasi ini biasanya perang pendapat, berita palsu, juga ajakan bergerak menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah beredar. 

Tulisan ini terbit di Jurnal Perempuan Edisi 97 bertema Perempuan dan Hukum Pidana

galaksi baru

di meja makan datang pikiran mungkin memang ini saatnya mencari galaksi baru. sup kacang merah terlihat seperti debu-debu kosmis dan dapur yang remang-remang membuat rindu pada cahaya yang pecah jadi pelangi. lalu kita berbicara tentang losmen kedasih dan tukang kaca mata keliling. tentang respek dan milkshake. sampai akhirnya, tentang renovasi rumah yang belum kunjung dimulai. diam-diam ada yang memeluk kakiku seperti arwah yang enggan terbang. sampai ke mana petualangan akan membawa dirimu. ke ruang tamu yang layak masuk majalah, di mana keluarga dan kawan-kawanmu minum teh dan makan kue coklat, atau sebuah planet asing yang udaranya menjanjikan sejarah penuh kemenangan bagi umat manusia, atau hanya sebuah tempat, di mana pun itu asal tidak di sini, di mana kau bisa mati. lebih berarti mungkin, tapi tetap mati. karena ketika kecoak terakhir terguling kaku, tidak ada lagi yang makan sup kacang merah. dan debu-debu kosmis tetap melayang-layang di luar sana seakan-akan tidak pernah ada yang meninggalkan bumi. 

dimuat di Selatan Musim Hujan 2015

a grim tale

dan di depan pintunya, ketika
angin mengusir siang dan mengundang gigil,
remah roti yang terakhir     
j
a
t
u
h
.

mungkin ini semacam pertanda

~

pada suatu hari,
aku menemukannya di dekat sebuah air mancur
berdiri seperti markas penyihir berhias kembang gula

lalu menggodaku, “mari sini,
singgah barang sebentar.”

entah karena lelah,
atau terlalu terpesona,
atau memang cerdik,

aku cuma bisa diam

melihat puluhan hansel dan gretel
memesan anggur dan sepiring kue orang orangan jahe.

ah, alangkah bahagianya

ketika tahu tungku penyihir mendidih di kesunyian dapur
sementara gergasi, kurcaci dan tentara mainan selalu berkata
“nanti…”

karena cerita belum saatnya berakhir dan nenek sihir
belum boleh berkata jampi.

~

apakahrahasiaapakahbahagiaapakahpertanda
lebur jadi sunyi jadi
sorak sorai jadi
api jadi
mati
jadi
ja
di
j
a
d
i

—selesai 25 agustus 2008 (setelah setahun mendekam bersama debu, with a little help from MJ)