a grim tale

dan di depan pintunya, ketika
angin mengusir siang dan mengundang gigil,
remah roti yang terakhir     
j
a
t
u
h
.

mungkin ini semacam pertanda

~

pada suatu hari,
aku menemukannya di dekat sebuah air mancur
berdiri seperti markas penyihir berhias kembang gula

lalu menggodaku, “mari sini,
singgah barang sebentar.”

entah karena lelah,
atau terlalu terpesona,
atau memang cerdik,

aku cuma bisa diam

melihat puluhan hansel dan gretel
memesan anggur dan sepiring kue orang orangan jahe.

ah, alangkah bahagianya

ketika tahu tungku penyihir mendidih di kesunyian dapur
sementara gergasi, kurcaci dan tentara mainan selalu berkata
“nanti…”

karena cerita belum saatnya berakhir dan nenek sihir
belum boleh berkata jampi.

~

apakahrahasiaapakahbahagiaapakahpertanda
lebur jadi sunyi jadi
sorak sorai jadi
api jadi
mati
jadi
ja
di
j
a
d
i

—selesai 25 agustus 2008 (setelah setahun mendekam bersama debu, with a little help from MJ)

CICAK, LEMARI ES, DAN HITUNG-HITUNGAN SATU SAMPAI LIMA (versi “Graffiti Imaji”)

Sa-atu. Du-u-a. Ti-ig-ga.

Tergagap-gagap si cicak menghitung butir-butir anggur yang sedang dirayapinya. Memang ia sedang menghitung dalam hati. Tapi udara yang masuk ke lubang hidungnya dan ke lubang-lubang mikroskopik di sekujur tubuhnya sudah berubah wujud dari partikel gas menjadi bongkahan-bongkahan padat yang bernama es. Di dunia ini rasanya belum ditemukan es yang tidak dingin, dan es yang sedemikian rupa dihirup si cicak mengeluarkan hawa yang begitu menggigit sehingga si hatinya itu pun ikut tersengat. Jadilah ia kini terbata-bata menguraikan setiap helai kata bisu yang diciptakannya.

Em-pha-at. Li-i-mm-a.

Ah. Makin lama makin susah saja baginya untuk main hitung-hitungan. Yah, habis mau bagaimana lagi? Sepertinya hanya permainan itu yang mampu dilakukannya sekarang. Main panjat-panjatan dinding, yang biasanya—yaitu beberapa menit yang lalu, untuk lebih tepatnya—dengan begitu anggun dia pertontonkan di hadapan manusia-manusia yang kebetulan melihat, sudah sama halnya dengan menatap gerhana matahari total dengan mata telanjang. Alias tidak mungkin. Atau, mungkin, dengan konsekuensi yang amat menyakitkan. Yah, sekali lagi, habis mau bagaimana lagi? Si cicak kini sudah hampir beku susunan sarafnya. Begitu juga halnya dengan daya lekat luar biasa yang dimiliki kedua pasang kakinya. Dan buruknya lagi, ia sudah kehilangan panggungnya—si dinding. Detik ini, sang cicak cuma punya segunduk anggur, yang tak akan membuat makhluk manapun di dunia ini terkagum-kagum jika melihat ada makhluk lain yang mampu memanjatnya.

Lii-ma. Li-i-ma.

Lalu apa habis lima? Lupa ia tampaknya. Aduh, cicaak, cicak. Setitik gumpalan sel yang ada di balik tengkorakmu yang rasanya juga punya ketebalan setitik itu pasti sudah diliputi es. Wah, kalau otak sudah kebal, bagaimana ia bisa dipakai untuk mengingat? Taruhan ceban si cicak pasti tidak tahu sekarang dia ada di mana dan bagaimana dia bisa sampai di situ! Kasihan sekali!

Limm-ma-aa.. lii-ma.. lii-..

Dan cicak terdiam.

Ia terdiam. Lama.

Lama sekali.

Entah apa yang dipikirkannya (Oya! Itu jika ia masih bisa berpikir!). Mungkin ia baru sadar kalau selama ini ia berada di dalam suatu ruangan yang gelap. Mungkin ia baru sadar kalau itulah alasan kenapa sedari tadi ia cuma bisa merayap sambil meraba-raba tumpukan buah anggur. Mungkin ia baru sadar kalau dirinya cicak dan cicak tidak seharusnya berada di tempat seperti ini.

Lim-mha-aa. Li-mha.

Misalkan ada yang dapat melihatnya sekarang, ia tak ubahnya mobil yang mogok di tengah malam di sebuah bukit yang sepi tanpa penerangan sedikitpun. Menyedihkan.

Lii-mmh-mmh-a..

Misalkan ada yang dapat melihatnya sekarang, ia tak ubahnya.. eh…

Lima.

Matanya menatap nyalang. Jika si cicak memang mobil, si pemiliknya pasti sudah berhasil dengan ajaib membuat mesinnya kembali berfungsi, kemudian memain-mainkan gasnya, dan menyalakan kedua lampu depannya dengan bangga. Dan kedua lampu itu menyala dengan begitu ganas, merobek tirai gelap yang ada di sekelilingnya. Seperti mata si cicak sekarang.

LIMA!

Ia kini tahu ia berada di dalam sebuah lemari es. Ia kini tahu ia ingin—ia harus—keluar. Walaupun ia masih tidak ingat angka apa yang muncul setelah lima, ia sudah tahu apa yang harus ia ucapkan.

KELUAR!

Tiba-tiba, sinar meliputi tempat si cicak berada. Sinar itu begitu terang, si cicak hampir-hanpir mengira matahari telah jatuh menimpanya. Tapi sebelum sempat ia merasa takut, sebuah wajah berukuran raksasa muncul di hadapannya. Wajah itu tertawa terbahak-bahak.

“Wah! Ma! Ada cicak di lemari es kita..!! Hahaaa.. bego banget, sih!”

Si cicak lalu merasa dirinya terangkat dan dibawa keluar dari si lemari es. Si anggur yang selama ini menemaninya kini terlihat seperti mainan.

BAM!

Pintu si lemari es ditutup oleh si pemilik tawa tadi, yang sampai sekarang masih tertawa-tawa. Ia meletakkan cicak di telapak tangannya yang terbuka di depan dadanya. Samar-samar si cicak melihat ada sesuatu di dada penyelamatnya itu. Sesuatu yang berwarna biru dan berukuran sangat besar.

Angka 6.