diambil dari artikel berjudul “Cintaku Pada Dunia Lain”
Cintaku Pada Dunia Lain |
Cintaku Pada Dunia Lain
Obsesi pada cerita-cerita horor membuatnya mantap menjatuhkan pilihan S2 pada jurusan yang tidak biasa yakni sastra Gothic
Namaku Gratiagusti Chananya Rompas. Tapi orang-orang di sekitarku memanggilku Anya. Usiaku 27 tahun.Setelah meraih gelar sarjana pada program studi sastra Inggris di fakultas ilmu pengetahuan budaya Universitas Indonesia di tahun 2002, aku tertarik untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 di luar negeri. Saat melakukan riset di internet, aku mengambil kata kunci puisi. Memang sejak kecil aku tergila-gila akan puisi dan sastra serta berniat melanjutkan program pascasarjana di bidang ini. Dari kata kunci tersebut, muncul beberapa deretan Universitas yang salah satunya adalah University of Stirling di Skotlandia,Inggris. Yang mengejutkan ketika masuk ke dalam situs Universitas ini, selain menemukan program puisi,aku juga menemukan kajian ilmu yang sangat spesifik, yaitu sastra gothic.
Aku kaget bercampur senang. Pasalnya dari kecil aku memang terobsesi dengan cerita yang beraliran dark dan punya aroma mistis. Seperti kisah monster atau drakula. Karena kebetulan pendaftaran ke Universitas itu memperbolehkan aku memilih dua kajian ilmu, aku langsung memasukkan program studi puisi dan sastra gothic sebagai pilihanku.
Mungkin karena sudah berjodoh dengan jurusan ini, tiba-tiba saja di tahun 2004( tahun aku akan masuk), aku mendapat kabar program puisi ditiadakan. Walau begitu, toh aku tetap happy, karena lamaranku untuk melanjutkan studi sastra gothic diterima. Saat itu juga sebenarnya aku juga diterima di Universitas lain di program studi sastra inggris. Tapi aku sudah tak bisa pindah ke lain hati. Hatiku mantap membisikkan sastra gothic adalah masa depanku.
Karena sejak kecil, aku memang sudah ‘nyeleneh’ dibandingkan kedua kakak yang kebetulan meneruskan ke kajian ilmu yang umum, orang tuaku nampaknya sudah kebal dan mengerti pilihanku. Padahal mungkin di mata orang banyak, pilihanku terlihat ajaib. Kok jauh-jauh sekolah ke luar negeri memilih jurusan yang tak biasa. Tapi itulah aku. Walau ribuan orang mempertanyakan, kalau hatiku sudah mantap, aku tak peduli. Aku akan tetap melangkah meraih mimpiku.
Support orang tua juga kuraih. Mungkin mereka sudah beradaptasi dan mengerti sekali karakter putrinya yang bernafas di bidang sastra. Sejak usia belasan aku memang sudah aktif membuat puisi, bahkan merintis lahirnya sebuah komunitas puisi yang bernama Bunga Matahari. Istilahnya orang tuaku dari yang geleng-geleng kepala dengan aktivitasku, lama-lama jadi mangguk-mangguk dan menerima saja. Hanya saja sebelum berangkat ke Skotlandia, bapak hanya mengingatkan aku untuk serius dan menekuni pilihanku secara konsisten.
Makin ‘klop’ dengan Sastra Gelap
Walau kebudayaan gothic yang berkembang sejak awal tahun 1700-an sangat luas, dari arsitektur, musik, fashion hingga sastra, aku hanya khusus menekuni di bagian sastra saja. Yang lain, memang sempat dibahas tapi hanya garis besarnya. Awal-awal kuliah, penekanan ilmu memang di bagian sejarahnya. Dimana karya sastra ini pertama lahir dari buah pikiran Horace Walpole, yang menulis buku Castle Of Otranto.
Aku pun merasa makin ‘klop’ dengan sastra gelap dan banyak bicara tentang hubungan darah dan pertentangan di agama dan masyarakat ini. Apalagi menurutku, waktu belajarnya sangat singkat. Hanya setahun, tapi pembahasannya dalam dan padat. Kajian ilmunya memang lahir dari masyarakat yang menghargai sejarah. Walau tidak bisa dibilang jurusan yang populer ( teman satu angkatanku hanya lima orang), sastra gothic mempunya posisi yang penting di kesusastraan Inggris. Buktinya sampai sekarang kegiatan akademis yang berkaitan dengan sastra ini masih aktif dilakukan.
Aku juga menganggap perjalanan sastra ini cukup unik. Mengingat awalnya sastra ini dianggap sebagai sastra ’sampah’ karena penikmatnya dianggap manusia abnormal dan irasional. Yang mengidolai kekuatan supranatural dan berbau mistis. Ujung-ujungnya, wanita lah yang dituding sebagai obyeknya. Karena irasional lahir dari sisi emosi, yang memang akrab dengan dunia wanita.
Aku benar-benar menikmati mata kuliahku, terutama bagian film. Secara umum film menggunakan unsur-unsur horor dan teror lewar elemen supranatural atau misteri sebagai alat-alat estetiknya. Menurutku cara ini, super cool. Aku juga senang karena kajian ilmu ini membuat pikiranku berkembang dan menemukan sudut-sudut pandang baru.
Yang awalnya aku nilai sebagai karya non gothic, seperti buku sastra The God of Small Things atau film Fight Club, ternyata bisa dinilai dari kacamata gothic. Nggak bisa dipungkiri kebudayaan gothic mengalami perluasan. Yang awalnya hanya mengambil setting kastil gelap dan tema yang bertentangan dengan agama atau nilai dalam masyarakat meluas hingga karakter manusia yang umumnya abu-abu. Tak hanya hitam dan putih. Dan menurut saya, ajaran ini realistis sekali.
Walau mengambil jurusan ini, jangan mengira aku adalah pelahap busana gelap lengkap dengan bibir yang dicat warna hitam. Penampilanku sama saja dengan anak muda kebanyakan. Suka memakai celana jeans dan berbusana warna cerah. Bahkan dari kelima teman kuliahku hanya dua orang yang hobi berkostum hitam-hitam. Jiwa gothic memang hanya di hati, bukan di pakaian kami. Untuk musik pun aku sesekali juga berburu wawasan di internet seperti masuk ke situs teen gothic. Tapi yang selalu aku update perkembangannya ya perkumpulan akademisi sastra gothic. Namanya sendiri adalah International Gothic Association.
Sempat Mengalami Pengalaman Salah Satu Tokoh Gothic
Dengan ’melahap’ ilmu sastra gothic, bukan berarti aku tergolong orang yang klenik. Menurutku, salah besar anggapan belajar sastra gothic, sama dengan belajar aliran mistis. Walau begitu aku harus akui, sempat juga sih merasakan pengalaman otentik menjadi salah satu tokoh gothic yang bukunya sering aku baca.
Ceritanya begini, di musim dingin 2004, semua flatmate pulang ke negaranya masing-masing. Alhasil aku sendirian di rumah. Saat itu aku sedang mengerjakan esai yang bahannya adalah Dracula, baik versi novel Bram Stoker dan film Francis Coppola. Waktu itu, hari sudah sangat gelap dan angin bertiup kencang menyebabkan rumah kayu yang aku tinggali seakan hidup. Awalnya aku tak merasa terganggu. Aku kan sudah kenyang melahap puluhan novel dan dan film hantu, otomatis harus lebih kebal. Tapi lama kelamaan dinding, pintu dan daun jendela di seluruh bagian rumah berderak-derak dalam irama yang membuat jantung sekaligus imajinasiku berdetak tak keruan.
Anehnya, tak lama kemudian aku mendengar bunyi bel. Aku sempat ragu untuk pergi ke pintu, tapi bel berbunyi dan berbunyi lagi. Akhirnya aku keluar kamar, melintasi koridor yang remang-remang dan membuka pintu. Angin dingin yang membuat pohon berayun liar segera menerpa wajahku. Derak-derak kayu rumah kini bergabung dengan suara angin, ranting dan dedaunan di luar membuat suara melolong yang pilu. Badanku menjadi sedingin es menemukan tak ada seorang pun di teras. Walaupun kejadian ini bisa diterangkan secara rasional, malam itu aku merasakan sensasi menggigit yang luar biasa dan sulit diterjemahkan dalam kata-kata. ” I just know that in that moment something that out of this world has passed by.”
Kini aku sudah pulang ke Jakarta. Tak ada setitik pun penyesalan karena aku tak bisa melanjutkan karier sesuai pendidikanku. Menurutku lulusan sastra pada umumnya, yang spesifk maupun tidak, bisa menjadi apa saja yang mereka mau di jalur kreatif maupun bidang-bidang humaniora. Aku malah bangga dengan gelar M Litt yang kuraih. Mungkin aku satu-satunya orang di Indonesia yang punya gelar ini.
Untuk jangka panjang mimpiku adalah melanjutkan penelitian tentang film horor kontemporer Indonesia. Aku lihat sekarang film horor kembali populer. Keinginan akhirku adalah mengembangkan disertasi ke dalam bentuk buku. Kalau sekarang ini,selain menjadi freelance pengajar bahasa Inggris sekaligus menerima terjemahan buku, aku juga sedang sibuk menyiapkan buku kumpulan puisiku, yang niatnya akan aku terbitkan. Untuk puisinya sendiri, aku istirahatkan dari sisi gothic-ku. Lebih yang membumi saja, jadi biar penikmatnya lebih massal.
Teks : Marjorie Firma