jurnal hujan

hujan turun begitu
sembrono:

sore ini, hampir setengah
enam

tumpah begitu saja

seperti air dari gelas
yang tersikut lengan

mengguyur catatan harian

tentang senja yang tak
kunjung terbenam

sore ini, hampir setengah
enam

hujan turun begitu sembrono:

kuyup aku, cari horison di
penghujung angan

23 thoughts on “jurnal hujan

  1. dibilangin donk sii hujan… gini-gini….

    hujaaan.. janganlah engkau mendera dengan rintikmu…
    membuat dingin sekujur tubuh…
    menutup mentari di peraduan…

    huekekekekek ga bisa bikin….. ternyata…:d

  2. hm, ya gpp juga kan kangen sama hujan yang sembrono? hehe…

    memang puisi-puisi yang aku tulis pasti bersumber dari pengalamanku yang kebetulan kamu sedikit banyak tau juga. tapi kalau vera langsung menghubungkan keduanya, takutnya malah jadi membatasi laju sensasi yang mungkin muncul ketika vera membaca, lho.

    lagian, kalo memang mau dihubungkan dengan pengalaman pribadi, puisi ini sebenernya dibuat bertahun-tahun yang lalu – jauh sebelum puisi hujan yang vera maksud tadi ditulis. jadi, kedua puisi hujan itu ngga bisa dihubungkan secara kronologi kemunculan mereka di sini.

  3. bual lugu

    aku diam terhuyung di telapak angin
    membual dipelana gajah
    terkungkung dalam selongsong peluru
    tegar diantara semut pengerat mangkuk

    ah….
    aku hanya ingin membual
    membual diantara kesakralan puisi
    berbohong diantara kejujuran malaikat

    akankah dosa aku menerabas kejumudan diam?

    meronta diantara kecipak halilintar?

    ah…..
    aku hanya ingin membual
    membual diantara diriku
    dan orang lain yang rela aku pecundangi

  4. tak ada hujan yang tak tak sampai di bumi pertiwi
    jadi tolong jangan salahkan hujan
    hujan adalah temanku
    hujan yang selalu menemaniku dikala sedih
    hujan yang selalu membuatku bahagia

  5. aku menyukai hujan yang turun sembrono
    Ia membuatku mengguyur catatan harian dengan pena

    untuk hujan yang turun sembrono
    untuk hujan yang turun kurus merintik
    semuanya sama meinspirasiku

    ia melahirkan tanah basah
    yang menguapkan wangi tanah
    dan merentaskan kabut
    yang tak selamanya singgah

  6. lalu sebagaimanapun aku berusaha tidak membenci hujan, ia selalu datang membawa muram.
    karena pelangi itu tak akan pernah muncul, kecuali aku melihat genangan air lekat-lekat.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s