Kenapa Selatan?*

Bisa dibilang praktis beberapa tahun belakangan ini saya menyerahkan diri hampir sepenuhnya pada tuntutan hidup sehingga amat sangat sedikit melakukan kegiatan-kegiatan kreatif, baik secara personal maupun kolektif (bersama Komunitas BungaMatahari aka BuMa, misalnya). Berbagai urusan keluarga dan pekerjaan berhasil membuat saya yakin kalau saya tidak punya tenaga dan waktu lagi untuk hal-hal lain, termasuk puisi. Dan menuliskan hal tersebut saja saat ini membuat saya ingin segera memberikan sederetan pembelaan dan justifikasi tentang bagaimana saya tetap memikirkan puisi, memaksa diri untuk mencuri-curi waktu menyelesaikan puisi yang sudah lama tidak kelar-kelar di sejumlah Evernote notebooks yang terlampau terorganisir (obsessive compulsive or a plain procrastinator?), membicarakannya bersama suami dan teman-teman dekat saya sampai larut malam di sebuah toko kelontong modern sambil berbagi keripik kentang olahan rasa monosodium glutamate dan kopi dingin kalengan lalu esoknya merasa kesusahan bangkit dari tempat tidur. Sungguh, saya tak ingin terperosok membuat tulisan di mana saya akan teriak-teriak SAYA MASIH PEDULI KOK! BENERAN DEH! SAYA JUGA MASIH NULIS KOK! CUMA NGGAK DIKASIH LIHAT KE ORANG AJA!

Tapi ini juga bukan berarti saya sudah berbalik setuju dengan orang-orang yang enteng banget ngomong,”Bikin dong, jangan ngomong doang!” karena saya masih percaya kalau ngomong itu pakai mikir. Mungkin karena banyak orang yang suka nggak mikir kalau ngomong, ngomong suka dipelintir jadi hal yang nista ya. Saya yakin kadang-kadang perlu waktu lama sebelum pikiran berganti bentuk jadi sesuatu yang bisa dilihat, dipegang, dipuji maupun dicibir oleh banyak orang. Lagipula kalau orang yang lebih sering mikir dan/atau ngomong akhirnya merasa lewat omongan saja sudah cukup, nggak perlu juga kan dipaksa untuk melakukan hal yang lain lagi. Tapi, kalau begini terus, saya setuju juga kalau ada yang bilang saya mulai kebanyakan ngomong karena jadinya nggak nyampe-nyampe ke hal yang sebenarnya kepingin saya omongin di sini.

Yaitu, jurnal Selatan.

Yup, tepat pada tanggal 31 Januari 2015 yang lalu, saya dan teman-teman saya makan MSG dan minum Dr Brown tadi meluncurkan sebuah jurnal sastra daring (online, if you’re not a fan of archaic sounding abbreviations or so-called padanan katas) bernama Selatan.

Selatan sebenarnya adalah proyek yang sudah sering kami bicarakan sejak dua tiga tahun lalu dan kami membayangkannya dalam bentuk sebuah buku. Tapi ternyata bikin buku nggak kelar-kelar! Daripada materi yang sudah dikumpulin cuma jadi kumpulan bytes berdebu di hard disk, kami banting stir ke bentuk online. Sekarang sebenarnya bingung juga kenapa nggak dari awal aja kami sepakati bentuk ini. Toh kami memang sudah malang-melintang menulis dan berkomunitas secara online bersama BuMa.

Anyways, proyek Selatan sendiri tercetus karena kami merasa cemas melihat perkembangan sastra Indonesia yang semakin sedikit memberikan ruang untuk berkembangnya berbagai gaya menulis. Ini terasa ironis karena saat ini menggunakan internet untuk bersastra tidak lagi dianggap remeh. Golongan yang dulu menganggap sastra internet adalah sastra sampah sekarang sudah merajalela di media sosial, bahkan menjadi selebtweet dengan segudang pengikut. Selain itu, walaupun sekarang banyak penulis muda yang meraih kesuksesan dan komunitas menulis semakin menjamur, rasanya gaya dan subject matter yang mereka usung ternyata masih sangat mirip dengan satu sama lain. Kebanyakan nggak jauh-jauh dari gegalauan, nasehat-nasehat penyemangat jiwa dan topik-topik lain di sekitarnya.

Apa boleh buat memang, tema-tema tersebut dianggap sedang menjual. Apalagi kebanyakan yang (ingin) ada di arus utama harus mempertimbangkan juga apa yang sedang disukai pasar. Kalau selera pasar dibiarkan terlalu beragam repot kan jualannya. Dan selera publik masih tetap dikuasai dan diarahkan oleh kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang jika dirunut-runut akhirnya kembali juga ke apa lagi kalau bukan kapital. Dan kita tahu, ini artinya hanya karya-karya yang dinilai “menjual” yang akan dengan mudah ditemukan karena sangat gencar dipromosikan.

Tapi ketika saya jalan-jalan ke toko buku yang jangkauannya paling luas di Indonesia dan melihat buku si penulis A yang saya tahu berasal dari tempat X dan penulis B yang berasal dari Y ternyata memuat isi yang hampir sama, saya jadi berpikir: masak sih di negeri yang begitu beragam budaya dan kondisi alamnya, yang dibahas penulis-penulisnya hampir serupa? Ya, ya, manusia tentu punya nilai-nilai universal yang melampaui perbedaan suku, adat-istiadat, bahasa, tempat tinggal dan lain sebagainya. Tapi apakah kita bisa saling menerima satu sama lain kalau tidak berusaha mengerti dan menghargai perbedaan yang kita miliki?

Kita bisa membahas dan memperdebatkan masalah ini bermalam-malam dengan asupan lebih banyak lagi jajanan dalam kemasan tapi sementara ini kita simpan dulu untuk kesempatan lain. Yang jelas, saya dan teman-teman di Selatan sedang tidak melarang siapa pun menulis apa yang mereka sukai dan percayai. Kami hanya berpikir tentu masih ada ruang untuk gaya dan subjek yang lebih beragam di dunia sastra Indonesia. Dan kami haus akan karya-karya yang tidak semata-mata berbicara tentang perasaan serta pemikiran yang seolah-olah dilahirkan dari ruang hampa; karya-karya yang memberikan celah bagi pembacanya untuk mengintip, atau setidaknya merasa penasaran, lingkungan seperti apa yang mempengaruhi pencipta dan penciptaannya.

Mungkin yang terlanjur mengenal kami dari BuMa akan bertanya juga, apa kehausan itu tak cukup dipenuhi lewat kegiatan kami bersama komunitas tersebut. Simpel saja, BuMa berkonsentrasi pada puisi berbahasa Indonesia sementara kami juga ingin menjelajahi bentuk-bentuk penulisan lain. Dan justru karena lewat BuMa kami menemukan begitu banyak variasi puisi yang sangat menggairahkan tetapi belum atau tidak akan mendapatkan perhatian yang layak di dalam dunia kesusastraan Indonesia saat ini, kami merasa perlu berusaha membangun sebuah ruang lagi untuk bentuk ekspresi yang lain. Sebuah ruang yang akan mendorong kami untuk lebih dalam menyelami arti menulis sambil memperluas wawasan kami tentang dunia kepenulisan di negeri ini.

Paling tidak untuk kami sendiri, lewat obrolan-obrolan tak berkesudahan di malam-malam naas (mengingat salah satu puisi Ratri Ninditya di Selatan) itu, kami sepakat bahwa puisi (dan juga menulis) adalah kenyaataan. Dan kenyataan kami membuat kami menggunakan kosa kata yang berbeda dari yang sering ditemukan dalam halaman-halaman sastra koran. Kenyataan kami jugalah yang membuat kami ingin menunjukkan kalau masih banyak gaya di luar karya-karya sentimental dan motivasional yang seakan-akan muncul dari sebuah kenyataan cetakan kue yang bisa mengenyangkan perut puluhan juta orang setiap kue tersebut keluar dari oven. Seperti bentuk tubuh dan warna kulit manusia, reality comes in many different shapes, hues, sizes, layers and textures. Oleh karena itu kami yakin kalau sebuah tempat bagi kami perlu ada, jika bukan untuk mencuri perhatian, maka untuk sekadar memberikan warna dan variasi yang seringkali sulit ditemukan ketika hidup begitu banyak orang sudah sedemikian melelahkan sehingga apa pun yang disajikan itu pulalah yang akan selalu disantap.

Ah, sudahlah. Mari pergi saja ke www.jurnalselatan.com sekarang, siapa tahu kamu menemukan tempatmu juga di sana.

FB Notes - Kenapa Selatan

*Tulisan ini saya buat sebagai bagian dari sekumpulan tulisan yang diterbitkan anggota tim redaksi Selatan, dimuat pertama kali di halaman Facebook ini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s