Gratiagusti Chananya Rompas (38) mengandaikan dirinya terwakili oleh “Kota Ini Kembang Api” dan “Non-Spesifik”. Keduanya adalah kumpulan puisi karyanya yang menampung sisi terang di satu buku, dan sisi gelap di buku yang lain. Anya, begitu dia biasa disapa, bernaung di bawah Ki Hujan untuk menemukan dirinya.
Pagi itu kami janjian bertemu di Saudagar Kopi, kafe di Jalan Sabang, yang sudah buka sejak pukul 07.00, melayani orang-orang kantoran yang tak sempat sarapan. Namun, bukan Anya. Dia menghabiskan banyak waktu menulis di kafe itu sekaligus sebagai tempat melihat dunia luar.
Dengan agak kikuk, dia menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Anya memakai kemeja kotak-kotak. Anting berbentuk prisma menambah pesona potongan rambut mullet-nya, berponi, tipis di bagian samping, dan memanjang di bagian belakang. Ada sedikit sepuhan warna merah tatkala sinar membias dirambutnya. Gaya rambut ini pernah ngetop di era 1980-an. Rocker Joan Jett atau penyanyi dan aktris Liza Minnelli. “Mungkin karena aku kehilangan identitas jadi memakai identitas masa lalu ha-ha-ha,” seloroh Anya menjelaskan tentang gaya rambut dan pakaiannya.
Dia lalu memesan roti bakar telor dadar serta minuman favoritnya, orange juice dan flat white. “Ini lembut. Rasa kopi dan susunya berimbang. Ada pahit kopi dan gurih susu,” ujarnya mempromosikan flat white.
Anya sosok yang hangat, terbuka, dan selalu mencoba ceria. Di balik itu, dia tengah berjuang menyeimbangkan kondisi mentalnya agar tidak lagi terperosok ke dalam depresi yang menyiksa. Dan, menulis puisi menjadi salah satu terapinya. Menulis menjadi cara dia menyalurkan emosi ketika tak pandai mengungkapkannya dalam kata-kata verbal.
Tampaknya itu pengaruh dari mendiang ibunya yang meninggal ketika Anya masih kelas II SMP. Saat masih TK, ibunya digerogoti kanker dan terus berjuang hingga delapan tahun kemudian berpulang. Pada masa- masa sakit itu, sang ibu tidak pernah mengeluh, selalu tegar, dan penuh perhatian. Bahkan, ketika sudah tak bisa berbicara dan lemah di ruang ICU, sang ibu sempat menulis catatan kepada ayah Anya agar membantu keluarga pasien yang sempat di rawat di samping dia. “Pasien itu meninggal dan ibuku masih sempat mikir orang lain, padahal dia juga sakit keras.”
Anya merasakan kasih sayang ibunya lewat sentuhan, senyuman, dan pelukan. Ibunya nyaris tidak bicara sehingga Anya tidak mempunyai ingatan tentang nasihat atau kata-kata bijak dari ibunya.
Pengalaman batin bersama ibunya itu mengendapkan persepsi bahwa itu menjadi perempuan yang baik itu harus mampu bersikap tegar. Tidak boleh mengeluh. Terus tersenyum dan berjuang. “Menjadi perempuan yang baik harus bisa seperti ibu, yang di keluarga menjadi role model,” kata ibu dari Jaemanis Rosemary Johani (8).
Terpuruk
Rupanya persepsi itu tidak selalu benar. Ceritanya pada suatu hari pada tahun 2015, dia ambruk dan harus dibawa ke rumah sakit. Sepulang dari sana, emosinya tidak stabil. Menangis lama tanpa sebab. Lalu, dia menjalani sesi konseling dengan psikolog dan psikiater untuk menemukan penyebabnya. Anya mengalami drama-drama kehidupan yang kemudian berujung pada vonis sebagai perempuan bipolar dengan kecederungan depresi.
Kecenderungan bipolar ini sebenarnya sudah ada sejak lahir dan bersifat laten. Selama ini Anya relatif dapat mengatasinya lantaran dia mampu mengatasi beban hidupnya. Namun, ketika ambruk itu beban hidupnya begitu berat, terlebih setelah ayahnya meninggal empat tahun lalu. Juga masalah lain.
Dari sesi konseling itu, Anya diminta lagi menggali emosinya di masa lalu lewat tulisan-tulisan yang pernah dia bikin. Dia lalu menelusuri lorong emosi lewat kata-kata. Dia menemukan pernah suatu hari merasakan banyak sekali yang berkecamuk di kepala tetapi sedikit sekali kata-kata yang keluar. Namun, ada perasaan lega dan ringan setelah menulis.
Ini kemudian memengaruhi bentuk beberapa puisi Anya yang irit kata tetapi sarat rasa, seperti puisi “Hari Itu Indah” yang berisi tujuh kata. Juga “Sepi” yang hanya terdiri atas sembilan kata, //mengendapendap/seperti kucing/melintas meniti pagar/di malam purnama//
Di masa kuliah sastra Inggris di Universitas Indonesia, Anya yang mendirikan komunitas sastra Bunga Matahari ini mempunyai target pribadi satu puisi satu hari. Namun, ada kalanya dalam sehari dia melahirkan lima puisi. Banyak sekali isi kepalanya yang tertuang ke dalam barisan kata. Itu kondisi yang belakangan dikenal Anya sebagai mania (manic) atau bahagia berlebihan. Bisa juga semangat berlebihan. Kebalikan dari depresi atau sedih berlebihan. Ketika ayunan dua kondisi itu, dari bahagia berlebihan ke sedih berlebihan, terlalu kencang, akan mengganggu seseorang. Anya mencoba menjaga stabilitasnya lewat menulis.
Dia juga harus menghindari stimulus yang dapat menyulut emosi. Ketika media massa dan media sosial ramai oleh ujaran kebencian seperti sekarang ini, Anya memilih puasa. Pernah suatu saat dia ingin menulis status, tetapi suaminya, Mikael Johani, melarangnya. Dia tahu betul Anya nanti akan terpancing membalas komentar orang- orang yang tidak sepaham dengannya. Anya memilih menjadi orang waras. “Suami saya yang membacakan berita terbaru untuk menyuplai informasi. Tetapi, setelah dia saring-saring ha-ha-ha.”
Guru bahasa
Suatu hari ketika masih SMP, Anya dan teman-teman sekelasnya diminta guru Bahasa indonesia membuat puisi. Guru itu menyuruh muridnya keluar kelas, melihat-lihat segala yang ada di halaman sekolah. Menyuruh mereka menulis apa saja yang terlintas. Anak-anak itu menyebar di bawah pohon Ki Hujan atau trembesi yang memayung.
Adapun Anya agak menjauh sehingga bisa menangkap kesan pohon gagah itu seolah melindungi teman-temannya. Dari situ, dia menulis puisi berjudul Ki Hujan, dan menjadi puisi terbaik di antara puisi teman-temannya. Keteduhan Ki Hujan menaungi Anya berpuisi.
Sejak saat itu, menulis puisi seolah menjadi jalan hidupnya. Dia lalu menggeluti dunia sastra dengan membentuk komunitas Bunga Matahari lewat milis yang menjadi ruang diskusi maya pada awal era 2000-an. Kala itu dia masih kuliah di UI. Setelah lulus, dia melanjutkan studinya dengan mengambil program The Gothic Imagination di University of Stirling, Skotlandia, lulus tahun 2005.
Anya menilai puisi harus komunikatif. Mampu menjelaskan hal kecil di sekeliling. Cara pandang ini menghasilkan puisi-puisi yang mudah dipahami, tetapi tidak jatuh pada kedangkalan makna. Sebutlah puisi “Titik Titik Lampu Merah dan Hijau di Permukaan Kausmu” yang menceritakan tentang perempuan berkaki jenjang menawarkan rokok putih sambil tersenyum.
Pengamatannya yang jeli juga terungkap dalam puisi “Jalan Sabang Bising”, //siang ini/suara suara di jalan sabang terdengar sedikit terlalu bising// lift yang hanya mampu mengangkut tiga orang juga harus mendongeng// ia bisa mati kapan saja, mungkin sulit untuk hidup kembali// di antara makan siang pun ada tangga rahasia yang jadi tempat tinggal kucing// jangan sentuh pegangannya/ tak ada yang tahu siapa lagi yang pernah ke sana// mungkin sudah jadi perkampungan peri peri bakteri yang tak kelihatan//
Puisi-puisinya tersebar di beberapa ontologi, majalah, dan koran. Buku kumpulan puisinya Kota Ini Kembang Api (2016) yang berisi 86 puisi. Dia segera meluncurkan kumpulan puisi dalam buku keduanya, Non-Spesifik, yang menampung seratusan puisi. Kedua buku itu mewakili ledakan emosi pada diri Anya. Puisi menjadi terapi seperti Ki Hujan yang memberikan keteduhan.
Tulisan oleh M. Hilmi Faiq | Foto oleh Yuniadhi Agung
diambil dari: Gratiagusti Chananya Rompas – Kompas – 2017 05 21