PERPADUAN antara bakat dan kemauan untuk menulis, sangat penting. Lebih bermanfaat ketika keduanya akhirnya mengalir melampaui proses penciptaan yang di dalamnya terkandung pengalaman membaca “dunia tampak dan tak tampak” dengan kejernihan mata batin.
Saya hampir letih menanti Anya (panggilan karib untuk Gratiagusti Chananya Rompas) melahirkan puisi. Dalam wadah yang cantik ini, sejak jauh hari, saya menduga-dan sedikit bertaruh-terdapat isi yang cantik. Tentu akan sia-sia andaikata tak pernah ada pena yang menghampiri tangannya.
Beruntung saya telah memiliki cukup waktu untuk mengenal Anya. Melihatnya ketika gembira, saat letih dan pasrah, manakala “demam” oleh stimulan pekerjaan di pundaknya, sewaktu berusaha menutupi perasaannya, ketika menjaga jarak pada gossip yang tak perlu. Dari itu semua tampaklah sesuatu yang serba-positif. Oleh bekal itu, saya membaca puisi-puisi Anya dengan (rasa) cinta.
Selain bermain materi, Anya juga mengolah bentuk. Hampir setiap puisi dalam buku ini mengindahkan bentuk, misalnya bersusun jenjang seumpama tangga, terbagi antara rata kanan dan rata kiri, huruf dengan spasi yang mengisyaratkan perasaan tergagap, terserak seperti guguran daun, dan, yang membuat saya tersenyum sendiri adalah posisi terbalik pada puisi “mabuk lampu”.
Berhadapan dengan buku puisi Anya, saya selalu mengira sedang memandang sebuah bejana bening (topless) berbentuk unik (mungkin bersegi-segi), yang di dalamnya terdapat aneka permen, lantas bingung memilih mana yang lebih dulu diambil untuk dikulum atau dikunyah. Tentu karena ingin mengambil seluruhnya, tetapi tak hendak segera menghabiskannya: betapa asyiknya jika rasa dan aroma itu tetap bergelimang dalam rongga mulut. Dalam rongga pikiran dan relung perasaan.
Ada spirit dongeng dalam puisi-puisi Anya, yang disematkan pada situasi metropolis (tempatnya bergiat sehari-hari). Tetapi bagaimanapun, Anya punya akar-darah yang kuat di ranah Manado, terasa saat saya singgah berlama-lama di rumah muasalnya yang nyaris seluruhnya terbuat dari kayu, dengan beranda belakang setentang bukit Manado Tua yang tercelup laut Bunaken.
Saya membayangkan Anya sebagai Kumala, peri dari Negeri Dongeng yang berbekal tongkat berujung pijar pengubah segala. Lantas ia menyulap perasaan-perasaannya, keinginan dan harapannya, berita yang mampir ke telinga dan pikirannya; dalam derai kata-kata nyaris ajaib: metafora segar yang menggoda untuk selalu dibaca ulang.
dingin menyelinap dari sela jendela
seperti kenangan yang mahir
(“hujankenangan”)
Saya suka kata “mahir” yang diletakkan sebagai predikat untuk subyek yang tak kasat mata. Pada puisi “sayang aku ingin pulang, tidur, dan mimpi” yang bait pertamanya merupakan cerita keseharian yang indah, pada bait kedua ada seloka menarik:
hariku sudah selesai
habis dilalap waktu
Sangat biasa sesungguhnya, kecuali saat Anya memilih diksi “dilalap”, kata yang kerap digunakan orang-orang silam, tapi di sini bagai menunjukkan “waktu” yang rakus. Sementara di akhir puisi, ada pasangan yang saling menghancurkan:
hatiku renta
mati dicekik hidup
Boleh jadi, lantaran hidup pun bisa mencekik, Anya berpesan pada puisi yang lain untuk tetap awas:
jangan tertidur, sayang
dunia tak sepenuhnya tulus
(“lagu-lagu malam”)
Dalam menggambarkan surga, Anya terbebas dari bayangan atau harapan manusia umumnya yang telah didoktrin oleh kitab-kitab agama sebagai wahana dan suasana yang serba wah. Bagi Anya, dalam puisi “mimpi jari kaki”:
surga
bayang-
bayang
memang cuma
sebatas
jari kaki.
Ya, sebatas jari kaki. Karena kaki kitalah yang telah dan akan membawa langkah sejauh keinginan kita. Namun di bawah telapak kaki bunda, dalam pepatah, tersimpan juga surga bagi sang anak.
Ketika Anya menyebut “rembulan”, yang terbayang oleh saya adalah bundar purnama nan lembut dan anggun. Begitu Anya menulis kata “tertusuk”, ada yang buyar dalam imaji saya mengenai dewi malam. Tentu saja, bulan (moon), dalam satu bulan (month), mengalami metamorfosa bentuk lantaran pergeseran bayangan Bumi. Pada satu pekan ia akan berupa sabit langsing dengan kedua ujung melengkung tajam. Di sinilah rahasia itu terbuka. Mari kita baca bait kedua sajak “langitku padam”:
ia sudah mati. ia sudah
sangat mati
koyak dan terburai.
tertusuk
rembulan
Sangat menarik karena Anya tidak menyebutnya sebagai “tertusuk bulan sabit”. Biarlah pembaca terganggu sedikit demi dua harapan (menurut saya): Pertama, betapa si molek itu mampu menusuk dan melukai. Kedua, tafsir tentang bulan menjadi lebih luas.
Sementara itu, Anya juga menggambarkan kecemerlangan sebagai “halo”. Sebuah metafor yang tak lazim, tetapi sangat cocok. Halo adalah sapaan akrab, penuh semangat, menyiratkan suasana ceria. Agak mustahil jika “halo” lahir dari perasaan yang kelam. Itulah yang terdapat dalam puisi “rahasia ninabobo”
di bawah senyap bintang
aku ingat biru
sungguh jernih
cemerlang bagai halo
…
Sayatan harmonika menisik helai-helai rambut menjadi selendang. Di satu saat, suara harmonika lebih menyayat ketimbang suling. Mengambil idiom rambut, mungkin Anya punya maksud (selain dari bentuknya yang serupa benang), itulah benda milik manusia yang tak hancur selama ratusan tahun, bahkan setelah belulang tak lagi ditemui jejaknya. Ditisik oleh bisik/lengking harmonika menjadi selendang, ah! Ungkapan kata selanjutnya menggiring pikiran pembaca kepada semesta alam raya yang diwakili oleh samudra dan matahari. Itu akan kita temukan pada puisi “kemari”.
Ketika kecerdasan (intelektual) berjumpa dengan kepekaan (sensibilitas), pada olahan karya (kreativitas) Anya, melahirkan ungkapan yang sebetulnya sederhana (= dipetik dari perbendaharaan kata yang dimiliki oleh hampir semua orang). Keunikannya muncul pada cara meletakkannya dalam konteks yang “ngilu”.
Bagaimana Anya menggambarkan rindu, dengan diksi trotoar, airmata, rumah di ujung sana… Sementara “waktu” (sebagai saingan dari “jarak”) berlalu cepat dalam hitungan pagi dan siang. Pada “waktu” yang bergegas itulah Anya menaruh (meletakkan, menitipkan) rindu agar sampai pada tujuan: kekasih.
Seluruhnya memang abstrak: rasa rindu dan waktu. Yang berupa “benda” adalah ruang (=jarak). Siasat Anya untuk menuntaskan rindunya adalah menyerahkan yang abstrak itu kepada yang abstrak pula. Mari kita baca puisi “rindu adalah”:
menyusuri trotoar
yang terendam air mata
sementara rumah
tak juga nampak
di ujung sana
pagi berlalu terlalu cepat
dan siang selalu tergesa
aku menaruh rindu pada senja
malam membawaku pada kekasih
***
BUKU ini disusun, dirancang, dipertimbangkan oleh Anya-barangkali-dengan kesadaran mencipta persembahan yang utuh. Berbeda dengan antologi puisi pada umumnya yang sekadar menghimpun sejumlah besar puisi dari karier sang penyair dalam kurun waktu tertentu, Anya justru “sengaja” membebaskan diri dari titimangsa penciptaan. Ia, rasanya, ingin menghadiahi pembaca (atau penggemarnya, termasuk saya) satu souvenir yang-saya gambarkan tadi-serupa bejana bening dengan segala rupa permen di dalamnya. Tak ada “permen” yang sama persis dalam topless itu, kecuali mirip satu sama lain.
Mari kita cermati kembali halaman demi halaman. Antara satu dan lain puisi seolah saling terkait dan disusun dengan keseriusan yang menyenangkan, agar pada halaman yang bertautan memiliki alunan tema yang tidak berseberangan. Misalnya deretan puisi tentang hujan, tentang malam, tentang kota, tentang langit, tentang rahasia… Anyaman antara mereka (puisi-puisi itu) menggelincirkan pembaca pada emosi yang “seperti kenangan yang mahir mencuri hati”.
Anya juga sangat jeli dalam mengatur halaman agar tidak terjadi emosi yang terganggu saat membaca puisi yang membutuhkan lebih dari satu halaman, misalnya dengan meletakkanya dalam dua pagina genap-ganjil, bukan sebaliknya.
Sejumlah puisi yang terinspirasi dari tokoh sentral film dan judul novel, merepresentasikan kekuatan daya khayal yang meramu setiap elemen peristiwa dan letupan perasaan dalam wujud keindahan yang utuh. Misalnya “The God of Small Things (dari novel Arundhati Roy) dan “Lagu untuk Ofelia” (dari film Spanyol berjudul Pan’s Labyrinth). Keduanya memiliki kalimat perdana yang memikat perhatian pembaca dari sisi yang paling membuai.
sebuah Sore yang Sureal. Ketika sinar Matahari jatuh seperti selendang tembus
pandang…
(“The God of Small Things”)
airmata
menetes seperti
perak
(“lagu untuk Ofelia”)
Khusus pada puisi “Lagu untuk Ofelia”, saya sempat tertenung dalam suatu perjalanan pulang malam, ketika dibacakan di Radio Prambors. Seolah menjadi:
PendarPendarCahayaMenyelinapRuangMata.
PengantarCeritaLamaYangTakPernahUsang
…
Satu lagi yang perlu diapresiasi dalam kemasan buku ini: ilustrasi akuarel. Gambar-gambar genangan warna yang membentuk citra itu bukan sekadar aksesoris belaka. Sebenarnya memang aksesoris, namun keberadaannya memperkuat suasana, bahkan serupa satu perekat yang tak layak dipisahkan, karena saling mengikat. Boleh jadi akuarel itu menjadi puisi yang tak teraksarakan, sedangkan puisi Anya merupakan larik kata-kata yang membentangkan gambar-gambar dalam pikiran saya.
Akhirnya, meskipun saya merasa begitu berat untuk berpisah dengan kumpulan puisi Anya, perbincangan ini mesti memiliki jeda sebelum berlanjut dengan hal-hal lain yang bakal menyemburat seusai pertemuan pertama.
Pertanyaan yang sebetulnya ingin saya ungkap di awal esai ini, adalah: “Mengapa Anya membuka album puisi Kota Ini Kembang Api dengan puisi yang muram?”
di kota ini, malam selalu lebih panjang
dan siang
lebih mencekam
dari kelam
Padahal “kembang api” menyiratkan cahaya, pijar yang memberikan aura sukacita, nyala yang dengan eksistensi tertentu menerangi serentang waktu kegelapan.
Inilah rahasia Anya yang akan saya eksplorasi lagi, barangkali, jauh setelah bukunya terbit dan tampil di panggung-panggung pembacaan puisi.
***
Kurnia Effendi
Jakarta, April-Mei 2008
*pernah dimuat di Ruang Baca (Koran Tempo) edisi Januari 2009